SEJARAH ILMU FIQH
Terdapat
perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari
Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad
Khudari Bek tersebut sebenarnya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam
setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut Az-Zarqa
adalah sebagai berikut:
1.
Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan
Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini
kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber
hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada
masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW. Periode awal ini juga dapat
dibagi menjadi periode 2 periode.
a.
Periode Makkah .
Pada periode Makkah, risalah Nabi
SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada
periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian
mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata.
b.
Periode Madinah.
Pada periode Madinah, ayat-ayat
tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum
diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh
karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi
sosial dan politik.
2.
Periode Al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya
Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan
Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an
dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini,
khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad
sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang
muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin
kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan
budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama
kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai
kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena
daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing
memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari
kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru
tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama
kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam
Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam
sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3.
Periode awal pertumbuhan fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan
abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal
pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam.
Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa
al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan
Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai
fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di
sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan
masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan
Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik
Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam
menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas’ud mengikuti pola yang telah di
tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan
kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci.
Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas’ud karena situasi dan
kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas
dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih
dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau
aliran ra’yu(akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra’yi).
Sementara itu, di Madinah yang
masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan
Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai
persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak
menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan
sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah
dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Hal
ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW
diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak
hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal
bagi munculnya alirah ahlulhadits.
Ibnu Mas’ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha’i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha’i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa’id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman
.
Murid-murid para sahabat tersebut,
yang disebut sebagai generasi thabi’in, bertindak sebagai rujukan dalam
menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya
terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi’in tersebut, diantaranya
fiqh al-Auza’i, fiqh an-Nakha’i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan
as-Sauri.
4.
Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad
ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban
Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000).
Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini
adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak
saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750
M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti
Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa
Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal
Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari
formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika
Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar
kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid
juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah
administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi
permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj.
Ketika Abu Ja’far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga
meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan
resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun
bukunya yang berjudul al-Muwaththa’ (Yang Disepakati).
Pada awal periode keemasan ini,
pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra ’yi sangat
tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran.
Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali
munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu,
tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal
dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra’yi berupaya
membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra’yu yang dapat digunakan
untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat
menerima pengertian ra’yu yang dimaksudkan ahlurra’yi, sekaligus
menerima ra’yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum. Upaya
pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh
ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam
Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa’ yang
merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam
asy-Syafi’i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf
juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra’yi.
Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan
atas hadits dan ra’yu.
Periode keemasan ini juga ditandai
dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa’ oleh
Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i, dan Zahir
ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani.
Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalaholeh
Imam asy-Syafi’i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan,
seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah
al-mursalah.
- Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam
mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan
tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing
mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh
imam mazhab mereka masing-masing, sehinggamujtahid mustaqill (mujtahid
mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya
tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh
tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid
yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat
dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri,
muncullah sikap at-ta’assub al-mazhabi (sikap fanatik buta
terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan
mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan
bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
a. Dorongan
para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah
saja.
b. Munculnya
sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan
(kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam
tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
c. Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak
perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka,
tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada
kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu
yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram
melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab
semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap
ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan
sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang
tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun
mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu,
namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang
ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah
semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan
terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
- Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan
abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- ’Adliyyah (Hukum
Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan
fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin
menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh
dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama
fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang
telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan)
dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab
atau hasyiah dan takrir (memperluas dan
mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan
tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk
menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada
semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari
gerakanhasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah
pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol
pada periode ini.
a. Munculnya
upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang
memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai
dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan
perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada
ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh
tersebut.
b. Muncul
beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di
pengadilan. Disamping itu, fungsiulil amri (penguasa) dalam
menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan
penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun
ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman,
muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam
masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa
melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk
transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan
tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan
transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya,
seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah
sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya
yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi
as-Su ’ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni
[1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki
Usmani).
c. Di
akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab
resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki
Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-’Adliyyah yang merupakan
kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani
berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
Periode pengkodifikasian fiqh. Periode ini di mulai sejak
munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian
fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam
memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya
dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang
semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum
Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim.
Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya
pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan
ijtihad digairahkan kembali.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang
mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini.
a. Munculnya
upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini
ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di
Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata).
Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun
Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi
(mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab
Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan
diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki
Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut
dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
b. Upaya
pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan
Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi
Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum
tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan
hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut
menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang
berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang
perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan
perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik
yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah
rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah,
serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara
di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di
bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan
para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta’akhkhirin) serta
terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
c. Munculnya
upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa
sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan
yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai
dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah
Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut
dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang
dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber
dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab
Maliki, Syafi ’i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah,
seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh
Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak
tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.Terdapat perbedaan pereodisasi
fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya adalah menurut Muhammad
Khudari Bek dan Mustafa Ahmad az-Zarqa pada masa Awal hingga periode
keemasaannya.
Dalam perkembangan selanjutnya,
khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk
melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang
tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai
mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan
bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115
H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan
Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah “bermazhab
merupakan Perbuatan bid’ah yang harus dihindari, dan tidak satu
orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi ’i
dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya)”. Sejak saat itu, kajian fiqh
tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian
komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh
muqaran
.
Sekalipun studi komparatif telah
dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqhal-Umm karya
Imam asy-Syafi’i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya
Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya
Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan
tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman
modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif
dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik
dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab,
sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih
pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang
menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama
fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari
dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi
komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa
Ahmad Az-Zarqa, Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-’Amm (Dar Asy-Syamiah,
Beirut 1998)
Pustaka.Abatasa.Com
Ada baiknya jika anda mau meninggalkan kritik dan saran, Demi meningkatkan Blog ini. Namun jangan pernah untuk mencoba meninggalkan jejak spam anda disini.
EmoticonEmoticon