RIWAYAT IMAM AL-BUKHARI
Silsilahnya
Beliau adalah Amirul Mukminin dalam hadit (Ulumul Hadis), dia bernama Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibnu Bardizbah. Kakeknya yang bernama Bardizbah ini beragama Majusi, agama kaumnya. Puteranya yang bernama Mughirah memeluk Islam dibawah bimbingan Yaman al-Ju’fi, gubernur Bukhara, sehingga dia dipanggil Mughirah al-Ju’fi.
Beliau adalah Amirul Mukminin dalam hadit (Ulumul Hadis), dia bernama Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibnu Bardizbah. Kakeknya yang bernama Bardizbah ini beragama Majusi, agama kaumnya. Puteranya yang bernama Mughirah memeluk Islam dibawah bimbingan Yaman al-Ju’fi, gubernur Bukhara, sehingga dia dipanggil Mughirah al-Ju’fi.
Sedangkan riwayat kakeknya, Ibrahim, tidak jelas.
Namun ayahnya yang bernama Ismail adalah ulama besar di bidang hadits.
Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik.
Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh orang Irak. Riwayat hidupnya ditulis oleh
Ibnu Hibban dalam kitab as-Siqah. Begitu juga puteranya, imam
al-Bukhari menulis riwayatnya dalam at Tarikh al-Kabir.
Ayah imam al-Bukhari adalah seorang yang alim, wara’, dan
taqwa. Menjelang wafatnya, beliau berkata: “Di dalam hartaku tidak terdapat uang
yang haram atau yang subhat sedikitpun”. Dengan demikian, jelaslah bahwa imam
al-Bukhari hidup dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan
wara’. Tidak heran bila dia mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya.
Kelahirannya
Imam al-Bukhari dilahirkan di Bukhara setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang cukup untuk hidup dengan baik dan terhormat. Dia dibina dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Sejak kecil, ia selalu mendapatkan lindungan dan bimbingan Allah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada waktu kecil, matanya tidak bisa melihat. Ibunya sangat sedih karenanya, dan selalu berdoa untuk kesembuhannya. Lalu dia bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit mata anakmu karena doamu”. Esok harinya sang ibu melihat mata anaknya sudah bercahaya. Maka duka hati ibu berganti dengan kegembiraan.
Imam al-Bukhari dilahirkan di Bukhara setelah shalat Jum’at, 13 Syawal 194 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang cukup untuk hidup dengan baik dan terhormat. Dia dibina dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian. Sejak kecil, ia selalu mendapatkan lindungan dan bimbingan Allah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada waktu kecil, matanya tidak bisa melihat. Ibunya sangat sedih karenanya, dan selalu berdoa untuk kesembuhannya. Lalu dia bermimpi bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit mata anakmu karena doamu”. Esok harinya sang ibu melihat mata anaknya sudah bercahaya. Maka duka hati ibu berganti dengan kegembiraan.
Kecerdasan dan Keunggulannya
Kecerdasan
imam al-Bukhari sudah tampak sejak kecil. Allah menganugerahi daya hafalan yang
sangat kuat, jiwa yang cemerlang. Ketika berusia sepuluh tahun, beliau sudah
banyak menghafal hadits. Kemudian dia menemui para ulama dan imam di negerinya
untuk belajar hadits, bertukar fikiran dan berdiskusi dengan mereka. Sebelum
berusia enam belas tahun, dia sudah hafal kitab Ibnu Mubarak dan
Waki’, serta memahami pendapat ahlu ra’yi (rasionalis), ushul
dan mahdzab mereka.
Perjalanan ke Makkah dan Madinah
Pada tahun 210 H, imam al-Bukhari bersama ibunya dan saudaranya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah Haji. Kemudian saudaranya yang berusia lebih tua dari dia pulang ke Bukhara. Sedangkan dia memilih tinggal di Makkah, salah satu tempat pusat menimba ilmu di Hijaz. Di kota itulah dia menempa diri untuk mereguk ilmu yang diinginkan. Kadangkala dia pergi ke Madinah. Di kedua kota suci itulah dia menulis sebagian karyanya dan menyusun dasar-dasar Jami’ush Shahih.
Pada tahun 210 H, imam al-Bukhari bersama ibunya dan saudaranya pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah Haji. Kemudian saudaranya yang berusia lebih tua dari dia pulang ke Bukhara. Sedangkan dia memilih tinggal di Makkah, salah satu tempat pusat menimba ilmu di Hijaz. Di kota itulah dia menempa diri untuk mereguk ilmu yang diinginkan. Kadangkala dia pergi ke Madinah. Di kedua kota suci itulah dia menulis sebagian karyanya dan menyusun dasar-dasar Jami’ush Shahih.
Beliau menulis Tarikh Kabir di sisi makam Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan sering menulis di malam hari di bawah terang
bulan. Dan mengarang tiga kitab Tarikh ash-Shaghir (yang kecil),
al-Ausath (yang sedang) dan al-Kabir (yang besar). Ketiga buku
itu menunjukkan kemampuannya yang luar biasa mengenai rijalul hadits.
Sehingga dia pernah berkata, “Sedikit sekali yang belum aku ketahui riwayat
orang-orang yang kutulis dalam tarikh itu”.
Lawatannya ke Berbagai Negeri
Imam al-Bukhari telah melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan hampir seluruh negeri Islam disinggahinya. Beliau pernah berkata, “Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits.
Imam al-Bukhari telah melakukan perjalanan ke berbagai negeri dan hampir seluruh negeri Islam disinggahinya. Beliau pernah berkata, “Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Basrah empat kali, dan saya bermukim di Hijaz selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya pergi ke Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama hadits.
Baghdad pada waktu itu ibukota dinasti Abbasiyyah, adalah
gudang ilmu pengetahun dan ulama. Di negeri itu beliau sering menemui Imam Ahmad
bin Hanbal. Imam Ahmad menganjurkan untuk tinggal di Baghdad, dan melarangnya
tinggal di Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya, imam al-Bukhari selalu mengumpulkan
dan menulis hadits. Di tengah malam beliau bangun menyalakan lampu dan menulis
setiap yang terlintas di benaknya, kemudian lampu dimatikan. Hal ini kurang
lebih dilakukan duapuluh kali setiap malam. Begitulah aktivitas imam al-Bukhari,
seluruh hidupnya dicurahkan untuk ilmu pengetahuan.
Ketegangan antara Al-Bukhari dan Zuhali
Pada tahun 250 H, imam al-Bukhari mengunjungi Naisabur, dan penduduknya menyambut gembira atas kedatangannya, termasuk ulama besar az-Zuhali beserta ulama lainnya. Muslim meriwayatkan, ketika Muhammad bin Ismail tiba di Naisabur, aku belum pernah melihat seorang gubernur beserta seluruh ulama daerah itu memberikan sambutan seperti yang mereka berikan kepada al-Bukhari. Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (88 atau 132 kilometer).
Pada tahun 250 H, imam al-Bukhari mengunjungi Naisabur, dan penduduknya menyambut gembira atas kedatangannya, termasuk ulama besar az-Zuhali beserta ulama lainnya. Muslim meriwayatkan, ketika Muhammad bin Ismail tiba di Naisabur, aku belum pernah melihat seorang gubernur beserta seluruh ulama daerah itu memberikan sambutan seperti yang mereka berikan kepada al-Bukhari. Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (88 atau 132 kilometer).
Az-Zuhali berkata: “Barangsiapa yang ingin menyambut Muhammad
bin Ismail besok, hendaklah ia menyambutnya, sebab aku juga ikut menyambutnya”.
Pagi harinya, Muhammad bin Yahya az-Zuhali beserta seluruh ulama Naisabur
menyambut kedatangan imam al-Bukhari. Beliau pun memasuki negeri itu dan tinggal
di perkampungan orang-orang Bukhara. Selama menetap di negeri itu, Al-Bukhari
mengajar hadits. Az-Zuhali menganjurkan para penduduk agar belajar kepada
al-Bukhari. Dia berkata, “Pergilah kalian kepada orang shaleh dan alim itu, dan
belajarlah kepadanya”.
Fitnah
Sebagian orang yang meras iri menghembuskan angin fitnah dengan menuduh al-Bukhari berkata, “Al-Qur’an itu maghluk”, sehingga menimbulkan kemarahan gurunya az-Zuhali kepadanya. Dia berkata, “Barangsiapa berpendapat bahwa lafazh al-Qur’an itu adalah maghluk, maka dia adalah ahli bid’ah, ia tidak boleh ditemui dan majelisnya tidak boleh dikunjungi. Setiap yang datang kepadanya hendaklah dicurigai”. Akibatnya orang-orang mulai menjauhinya, kecuali Muslim dan Ahmad bin Salamah. Az-Zuhali memperingatkan, “Siapa yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu maghluk, tidak boleh menghadiri majelis kami”. Rupanya perkataan itu ditujukan kepada Muslim yang masih sering mendatangi al-Bukhari. Mendengar ucapan seperti itu, Muslim mengambil selendangnya dan meninggalkan majelis az-Zuhali, disaksikan oleh murid-murid lainnya. Kemudian ia mengirimkan catatan pelajaran yang diterimanya dari az-Zuhali.
Sebagian orang yang meras iri menghembuskan angin fitnah dengan menuduh al-Bukhari berkata, “Al-Qur’an itu maghluk”, sehingga menimbulkan kemarahan gurunya az-Zuhali kepadanya. Dia berkata, “Barangsiapa berpendapat bahwa lafazh al-Qur’an itu adalah maghluk, maka dia adalah ahli bid’ah, ia tidak boleh ditemui dan majelisnya tidak boleh dikunjungi. Setiap yang datang kepadanya hendaklah dicurigai”. Akibatnya orang-orang mulai menjauhinya, kecuali Muslim dan Ahmad bin Salamah. Az-Zuhali memperingatkan, “Siapa yang berpendapat bahwa al-Qur’an itu maghluk, tidak boleh menghadiri majelis kami”. Rupanya perkataan itu ditujukan kepada Muslim yang masih sering mendatangi al-Bukhari. Mendengar ucapan seperti itu, Muslim mengambil selendangnya dan meninggalkan majelis az-Zuhali, disaksikan oleh murid-murid lainnya. Kemudian ia mengirimkan catatan pelajaran yang diterimanya dari az-Zuhali.
Al-Bukhari Bebas dari Tuduhan
Sebenarnya imam al-Bukhari bebas dari tuduhan itu. Ada satu riwayat yang mengatakan, seorang lelaki berdiri di hadapannya lalu bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lafazh al-Qur’an, maghluk atau bukan?” Al-Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak menjawabnya, meskipun orang itu sudah bertanya tiga kali. Orang itu terus mendesaknya, akhirnya al-Bukhari menjawab, “Al-Qur’an itu firman Allah, bukan maghluk. Perbuatan manusia adalah maghluk dan fitnah adalah bid’ah”. Yang dimaksud dengan “perbuatan maghluk” adalah “bacaan atau ucapan maghluk”. Pendapat yang dikatakan oleh al-Bukhari itu adalah pendapat para ulama salaf mengenai perbedaan antara “Bacaan” dan “yang dibaca”. Tetapi karena sudah dirasuki oleh perasaan benci dan iri, membuat mereka buta dan tuli.
Sebenarnya imam al-Bukhari bebas dari tuduhan itu. Ada satu riwayat yang mengatakan, seorang lelaki berdiri di hadapannya lalu bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lafazh al-Qur’an, maghluk atau bukan?” Al-Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak menjawabnya, meskipun orang itu sudah bertanya tiga kali. Orang itu terus mendesaknya, akhirnya al-Bukhari menjawab, “Al-Qur’an itu firman Allah, bukan maghluk. Perbuatan manusia adalah maghluk dan fitnah adalah bid’ah”. Yang dimaksud dengan “perbuatan maghluk” adalah “bacaan atau ucapan maghluk”. Pendapat yang dikatakan oleh al-Bukhari itu adalah pendapat para ulama salaf mengenai perbedaan antara “Bacaan” dan “yang dibaca”. Tetapi karena sudah dirasuki oleh perasaan benci dan iri, membuat mereka buta dan tuli.
Sebuah riwayat menceritakan al-Bukhari pernah berkata, “Iman
adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah atau berkurang. Al-Qur’an adalah
Kalam Allah, bukan maghluk. Shahabat utama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dengan berpegang pada keyakinan
dan keimanan inilah aku hidup, mati dan dibangkitkan kembali, Insya
Allah”.
Beliau juga pernah berkata: “Barangsiapa yang menuduhku
berpendapat bahwa lafazh al-Qur’an itu adalah maghluk, maka dia adalah
pendusta”.
Maka az-Zuhali bertambah marah kepadanya, dan berkata, “Orang
itu tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini”. Lalu al-Bukhari berpendapat,
keluar dari negeri ini adalah lebih baik baginya, demi menjaga nama baik dan
meredakan fitnah yang menimpanya. Dan beliau pun keluar dari negeri itu.
Pulang ke Bukhara
Setelah keluar dari Naisabur, al-Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Masyarakat negeri itu memeriahkan kedatangannya dan mendirikan tenda-tenda sejauh tiga mil dari kota. Seluruh rakyat menyambutnya dengan menabur uang dinar dan dirham sebagai ungkapan rasa kegembiraan mereka. Selama tinggal di negerinya sendiri, beliau mengadakan pengajian dan pengajaran hadits.
Setelah keluar dari Naisabur, al-Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Masyarakat negeri itu memeriahkan kedatangannya dan mendirikan tenda-tenda sejauh tiga mil dari kota. Seluruh rakyat menyambutnya dengan menabur uang dinar dan dirham sebagai ungkapan rasa kegembiraan mereka. Selama tinggal di negerinya sendiri, beliau mengadakan pengajian dan pengajaran hadits.
Namun fitnah berhembus lagi menimpa dirinya. Penguasa Bukhara
Khalid bin Muhammad az-Zuhali mengirimkan utusan kepada Imam
al-Bukhari, agar ia mengirimkan dua buah karangannya al-Jami’ush Shahih
dan Tarikh. Namun beliau keberatan memenuhi permintaan itu. Melalui
delegasi itu, ia berpesan kepada Khalid, “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan
membawanya ke istana. Jika sikap ini tidak berkenan di hati tuan, engkau adalah
raja dan berkuasa melarang saya untuk mengajar. Agar di hari kiamat nanti, aku
mempunyai alasan di sisi Allah bahwa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu”.
Mendengar jawaban seperti itu, raja marah dan berusaha mencari alasan yang dapat
mengeluarkan al-Bukhari dari negerinya, dengan membuat fitnah yang dapat
menyudutkan beliau. Akhirnya imam al-Bukhari diusir dari negeri itu.
Imam al-Bukhari mendoakan tidak baik terhadap Khalid yang telah
mengusirnya secara tidak sah. Kurang dari sebulan kemudian, Ibnu Tahir
menjatuhi hukuman kepada Khalid. Dia dipermalukan di muka umum dengan
menunggang keledai betina, dia dihina dan dipenjara.
Imam Al-Bukhari Wafat
Penduduk Samarkand memohon kepada imam al-Bukhari agar menetap di negeri mereka. Beliau pergi untuk memenuhi keinginan itu. Ketika sampai di Khartand – desa kecil yang terletak enam mil dari kota Samarkand, beliau singgah di kota itu, untuk mengunjungi saudaranya yang masih hidup di daerah itu. Di desa itu, imam al-Bukhari jatuh sakit dan menemui ajalnya.
Penduduk Samarkand memohon kepada imam al-Bukhari agar menetap di negeri mereka. Beliau pergi untuk memenuhi keinginan itu. Ketika sampai di Khartand – desa kecil yang terletak enam mil dari kota Samarkand, beliau singgah di kota itu, untuk mengunjungi saudaranya yang masih hidup di daerah itu. Di desa itu, imam al-Bukhari jatuh sakit dan menemui ajalnya.
Beliau wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870
M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum wafat, beliau berpesan agar
jenazahnya dikafani tiga helai, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan
setelah zhuhur di hari idul fitri itu. Dia telah menempuh perjalanan hidup yang
panjang dihiasi amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya
kepadanya.
Guru Imam Al-Bukhari
Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, imam al-Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya. Beliau mengatakan, “Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan”. Diantara para guru itu adalah Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Shahihnya sebanyak 289 guru.
Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, imam al-Bukhari bertemu dengan guru-guru terkemuka yang dapat dipercaya. Beliau mengatakan, “Aku menulis hadits dari 1.080 guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman itu adalah ucapan dan perbuatan”. Diantara para guru itu adalah Ali bin al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Maki bin Ibrahim al-Balkhi, Muhammad bin Yusuf al-Baykandi dan Ibnu Rahawaih. Jumlah guru yang haditsnya diriwayatkan dalam kitab Shahihnya sebanyak 289 guru.
Murid-Murid Imam Al-Bukhari
Orang yang meriwayatkan hadits dari imam al-Bukhari tidak terhitung jumlahnya, sehingga ada yang berpendapat ada sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari imam al-Bukhari. Diantara sekian banyak muridnya yang paling menonjol ilaha Muslim bin Hajjaj, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al-Nasafi, Hammad bin Syakir al-Nasawi dan Manshur ibn Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini adalah perawi shahih al-Bukhari yang termasyhur.
Orang yang meriwayatkan hadits dari imam al-Bukhari tidak terhitung jumlahnya, sehingga ada yang berpendapat ada sekitar 90.000 orang yang mendengar langsung dari imam al-Bukhari. Diantara sekian banyak muridnya yang paling menonjol ilaha Muslim bin Hajjaj, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firyabi, Ibrahim bin Mi’yal al-Nasafi, Hammad bin Syakir al-Nasawi dan Manshur ibn Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini adalah perawi shahih al-Bukhari yang termasyhur.
Al-Bukhari Dikarunia Kekuatan Hafalan dan Kecerdasan
Luar Biasa
Kekuatan hafalan, kecerdasan, pengetahuan tentang perawi hadits dan ilatnya yang terdapat pada al-Bukhari, merupakan salah satu tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, Allah telah memeliharanya dan para penghimpun hadits yang lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunnah Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Imam al-Bukhari berkata, “Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
Kekuatan hafalan, kecerdasan, pengetahuan tentang perawi hadits dan ilatnya yang terdapat pada al-Bukhari, merupakan salah satu tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT, Allah telah memeliharanya dan para penghimpun hadits yang lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunnah Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Imam al-Bukhari berkata, “Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits yang tidak shahih”.
Kekuatan hafalan imam Al-Bukhari, keluasan pengetahuannya dan
kecerdasannya sangat mengagumkan. Ketika beliau tiba di Baghdad, ulama hadits
berkumpul untuk menguji kemampuannya. Mereka mencampur aduk dan memutar balik
sanad dan matan 100 hadits. Matan hadits satu diberi sanad hadits lainnya, dan
sanad hadits yang satu diberi matan hadits lainnya. Sepuluh ulama tampil dengan
masing-masing membawa sepuluh hadits yang sudah tidak karuan itu. Orang pertama
mengajukan sepuluh hadits, setelah selesai membacanya, imam al-Bukhari
mengatakan, “Saya tidak mengetahi hadits yang anda baca tadi”. Sampai kepada
penanya yang kesepuluh, imam al-Bukhari tetap mengatakan seperti itu. Hadirin
yang tidak tahu, memastikan al-Bukhari tidak akan mampu menjawabnya. Sedangkan
para ulama saling berkata, “Hebat benar orang ini”.
Setelah para penguji selesai membaca hadits-hadits itu, imam
al-Bukhari melihat penanya pertama dan berkata, “Hadits pertama tadi, yang benar
isnadnya adalah begini”. Demikianlah imam al-Bukhari menjawab satu persatu dari
sepuluh hadits itu. Lalu dia menoleh kepada penanya kedua sampai kesepuluh. Dia
menyebutkan hadits yang sudah diputarbalikkann itu, lalu membaca isnad dan matan
hadits yang sebenarnya tanpa ada kesalahan sedikitpun. Maka para ulama Baghdad
menyatakan kekagumannya atas kecerdasan dan hafalan imam al-Bukhari serta
memberi gelar kepadanya “Imam Hadits”.
Sebagian hadirin mengatakan, “Yang mengagumkan, bukanlah ia
mampu menjawab secara benar, melainkan bagaimana dia mampu menyebutkan hadits
yang sanad dan matannya tidak karuan seperti yang telah dibacakan sang penanya
padahal dia hanya mendengar sekali saja”.
Imam al-Bukhari pernah berkata, “Saya tidak akan meriwayatkan
hadits yang kuterima dari shahabat dan tabi’in sebelum aku mengetahui tanggal
kelahiran, hari wafatnya dan tempat tinggalnya. Aku juga tidak akan meriwayatkan
hadits mauquf dari shahabat dan tabi’in kecuali ada dasarnya yang
kuketahui dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam”.
Pujian Para Ulama
Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya, maka para guru, kawan dan generasi sesudahnya memujinya. Seseorang pernah bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang imam al-Bukhari, beliau menjawab “Saya telah berjumpa dengan ahli hadits, ahli ra’yi, ahli fiqih, ahli ibadah dan orang zuhud. Namun saya belum pernah bertemu dengan orang seperti Muhammad bin Ismail al-Bukhari”.
Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya, maka para guru, kawan dan generasi sesudahnya memujinya. Seseorang pernah bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang imam al-Bukhari, beliau menjawab “Saya telah berjumpa dengan ahli hadits, ahli ra’yi, ahli fiqih, ahli ibadah dan orang zuhud. Namun saya belum pernah bertemu dengan orang seperti Muhammad bin Ismail al-Bukhari”.
Abu Bakar Ibnu Khuzaimah mengatakan “Dikolong langit
ini tidak ada ahli hadits yang melebihi Muhammad bin Ismail”. Abu Hatim
ar-Razi berkata, “Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi
al-Bukhari. Di Irak pun tidak ada yang melebihi dirinya”.
Al-Hakim menceritakan dengan sanad lengkap bahwa
Muslim yang menulis kitab Shahih Muslim, datang dan mencium antara
kedua mata al-Bukhari dan berkata, “Guru, biarkan aku mencium kedua kakimu.
Engkaulah imam ahli hadits dan dokter penyakit hadits”. Sanjungan dari generasi
sesudahnya cukup diwakili oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang berkata, “Seandainya
pintu pujian dan sanjungan masih terbuka bagi generasi sesudahnya, niscaya
kertas dan nafas akan habis, karena ia bagaikan laut yang tidak berpantai”.
Sifat dan Akhlak Imam Al-Bukhari
Imam al-Bukhari berbadan kurus,berperawakan sedang, kulitnya kecoklatan, makannya sedikit, pemalu, pemurah, dan zuhud. Hartanya banyak disedekahkan baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terutama untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Beliau memberikan dana yang cukup besar kepada para pelajar. Dia pernah berkata, “Sebulan penghasilan saya 500 dirham, semuanya untuk kepentingan pendidikan, sebab yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan kekal”.
Imam al-Bukhari berbadan kurus,berperawakan sedang, kulitnya kecoklatan, makannya sedikit, pemalu, pemurah, dan zuhud. Hartanya banyak disedekahkan baik secara terang-terangan atau tersembunyi, terutama untuk kepentingan pendidikan dan para pelajar. Beliau memberikan dana yang cukup besar kepada para pelajar. Dia pernah berkata, “Sebulan penghasilan saya 500 dirham, semuanya untuk kepentingan pendidikan, sebab yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan kekal”.
Imam al-Bukhari sangat berhati-hati dan sopan berbicara,
terutama dalam mengkritik para perawi. Terhadap perawi yang diketahui jelas
kebohongannya, ia cukup mengatakan fiihi nadzoruun (perlu
dipertimbangkan), tarokuuhu (ahli hadits meninggalkannya), sakatuu
‘anhu (mereka tidak menghiraukannya). Perkataan yang tegas terhadap perawi
yang tercela adalah munkarul hadiits (haditsnya diingkari).
Meskipun beliau sangat sopan dalam mengkritik perawi, namun ia
meninggalkan hadits dari perawi yang diragukan. Beliau berkata, “Saya
meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dipertimbangkan,
dan juga meninggalkan hadits yang jumlahnya sama atau lebih karena menurut
pandanganku, perawinya perlu dipertimbangkan”.
Imam al-Bukhari merupakan contoh yang sangat berhati-hati dalam
mengkritik perawi. Maka dari itu wajarlah jika cara kritiknya diteladani.
Menghormati Ilmu
Imam al-Bukhari memiliki jiwa mulia, terhormat, sangat membanggakan dan memuliakan ilmu, juga senantiasa menjaga agar ilmunya tidak direndahkan dan tidak dibawa-bawa ke tempat para penguasa. Ketegangan yang terjadi antara dia dengan Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad az-Zuhali, karena beliau menolak mengajar Khalid dan para puteranya. Sikap seperti ini merupakan sifat terpuji para ulama rabbani yang tidak takut kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mau mengajar karena mengharap kemewahan dan kedudukan. Dalam sejarah Islam, banyak para ulama bersikap seperti itu, terutama pada zaman keemasan Islam yang pertama.
Imam al-Bukhari memiliki jiwa mulia, terhormat, sangat membanggakan dan memuliakan ilmu, juga senantiasa menjaga agar ilmunya tidak direndahkan dan tidak dibawa-bawa ke tempat para penguasa. Ketegangan yang terjadi antara dia dengan Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad az-Zuhali, karena beliau menolak mengajar Khalid dan para puteranya. Sikap seperti ini merupakan sifat terpuji para ulama rabbani yang tidak takut kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mau mengajar karena mengharap kemewahan dan kedudukan. Dalam sejarah Islam, banyak para ulama bersikap seperti itu, terutama pada zaman keemasan Islam yang pertama.
Pandai Memanah
Imam al-Bukhari pernah belajar memanah sampai mahir, sehingga ada yang mengatakan bahwa sepanjang hidupnya hanya dua kali panahnya meleset dari sasaran. Karena dilandasi oleh hadits Rasul yang menganjurkan kaum muslimin belajar memanah dan berperang. Tujuan al-Bukhari belajar memanah adalah untuk persiapan memerangi musuh Islam dan mempertahankan diri dari kejahatan mereka. Sebaliknya, disamping dengan lisan, para ulama mempersiapkan diri untuk berjihad mempertahankan Islam, sehingga apabila ada panggilan jihad, mereka menjadi pelopor pertama yang menghadapi musuh.
Imam al-Bukhari pernah belajar memanah sampai mahir, sehingga ada yang mengatakan bahwa sepanjang hidupnya hanya dua kali panahnya meleset dari sasaran. Karena dilandasi oleh hadits Rasul yang menganjurkan kaum muslimin belajar memanah dan berperang. Tujuan al-Bukhari belajar memanah adalah untuk persiapan memerangi musuh Islam dan mempertahankan diri dari kejahatan mereka. Sebaliknya, disamping dengan lisan, para ulama mempersiapkan diri untuk berjihad mempertahankan Islam, sehingga apabila ada panggilan jihad, mereka menjadi pelopor pertama yang menghadapi musuh.
Dalam sejarah islam, banyak sekali ulama yang menjadi pelopor
jihad, seperti ‘Izzudin bin Abdus Salam dan Taqiyudin Ahmad ibn
Taimiyah. Mereka mempunyai andil besar dalam mengobarkan semangat berjihad
untuk memilah yang hak dengan yang batil.
Karya-Karya Imam Al-Bukhari
Imam al-Bukhari mempunyai karya tulis cukup banyak, antara lain:
Imam al-Bukhari mempunyai karya tulis cukup banyak, antara lain:
- al-Jamu’us Shahih
- Adabul Mufrad
- At-Tarikh ash-Shaghir
- At-Tarikh al-Ausath
- At-Tarikh al-Kabir
- At Tafsir al-Kabir
- al-Musnad al-Kabir
- Kitabul I’lal
- Raf’ul Yadain fis Salah
- Birrul Walidain
- Kitabul Asyribah
- Al-Qira’ah Khalfal Imam
- Kitab ad-Du’afa
- Asami as-Sahabah
- Kitab al-Kuna
Sebagian dari kitab tersebut sudah dicetak, sebagian lagi masih
berupa tulisan tangan. Sebagian lagi dikenal melalui sebagian ulama yang
menukilnya1. Yang paling terkenal
dan beredar luas sepanjang masa adalah kitab Shahih al-Bukhari atau
Jami’us Shahih. Kitab ini akan diulas lebih lanjut dalam pembahasan
berikutnya.
Disalin dari Dr. M. Muhammad Abu Syuhbah.1999. “Kutubus
Sittah”. Terbitan Pustaka Progressif. Surabaya. Cet-2, Januari 1999
Ada baiknya jika anda mau meninggalkan kritik dan saran, Demi meningkatkan Blog ini. Namun jangan pernah untuk mencoba meninggalkan jejak spam anda disini.
EmoticonEmoticon